Mengarungi samudra bukanlah tanpa perjuangan. Tidak bisa diumpamakan hanya seperti air mengalir di hilir yang tenang, meluncur mengikuti arus dan tak dituntut apapun. Jangan hanya dibayangkan bahwa berlayar di samudra yang luas bebas, tanpa batas lantas kita bisa berkehendak sesuka hati. Ada badai, ada arus laut, ada gelombang, ada predator dan ada banyak hal yang menyiksa disana.
Jangan juga membayangkan hidup sebagai seekor burung yang terbang bebas, lepas, tak ada belenggu. Membentangkan sayapnya lalu mengepak-ngepakkannya di udara seakan-akan langit biru hanyalah miliknya. Tahukah kemana burung-burung itu ketika langit menjadi berawan dan hujan? Di saat petir-petir menggelegar dan cuca menjadi kian buruk. Ke mana mereka sembunyi?
Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Di setiap tempat di dunia ini, bahkan di tempat-tempat tersembunyi di manapun tidak pernah ada tempat yang benar-benar nyaman untuk didiami. Tidak bisa sekehendak hati. Ada aturan-aturan yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Aturan-aturan yang membatasi kebebasan kita untuk tidak melanggar hak orang lain. Sehingga ketika kita ingin bebas, kita masih terbentur apakah kebebasan yang kita miliki nantinya berdampak kerugian atau perampasan hak bagi orang lain atau tidak. Kenyamanan menjadi semakin relatif dan sering pengorbanan diperlukan untuk sekedar menyalakan api cinta di dalam hati kita.
Tapi ketika api cinta kemudian tidak bisa menyala, pengorbanan seakan menjadi sia-sia. Karena pengorbanan ternyata hanya menginginkan udang di balik batu, bukannya ridho dari Sang Penguasa Alam.
Bahkan burung yang tampak terbang bebas lepas itu memiliki anak-anak untuk diberi makan, dilindungi dari para predator alami, dan dibimbing sampai mampu mandiri. Jangan sampai manusia malah lebih hina dari binatang, meskipun itu burung.
Semua itu harus dipahami untuk dapat menerima hidup ini sebagai sesuatu yang tidak sia-sia belaka. Jadi jangan pernah mengeluh. Jangan pernah menyalahkan siapapun. Kalau memang ada yang perlu dipersalahkan, mulailah memeriksa diri sendiri.
Aku hanya ingin mencintaimu dengan sederhana. Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.*  
Aku hanya tak mau mengukur-ngukur kebesaran cinta maupun pengorbanan. Sudah selayaknya dalam pelayaran ini tidak ada lagi “aku” dan “kamu”, melainkan “kita” satu. Sehingga kita tidak perlu menjerit agar bisa didengar. Sebuah isyarat sudah cukup terbaca tanpa orang lain perlu tahu seberapa besar luka perih yang kita derita.
Jadilah burung yang terbang mencari makanan dan kembali ke sarang dengan membawa keteduhan bagi anak-anak kita yang senantiasa membuka mulutnya ketika melihat kita datang.
Tidak perlu berhenti untuk terbang, tapi juga tidak perlu terpaksa. Ikhlaskanlah, karena tidak ada paksaan di atas cinta.

*Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana karya Sapardi Djoko Damono

0 komentar: